Sistem Hukum



A. TINJAUAN SEJARAH HUKUM

1. SISTEM HUKUM EROPA KONTINENTAL

Meski catatan sejarah menunjukkan bahwa kodifikasi hukum yang pertama sudah dilakukan oleh Hammurabi (Codex Hammurabi) pada zaman Babilonia, namun kata-kata bijak yang muncul pada awal kekaisaran Romawi sebagaimana diungkapkan Marcus Tullius Cicero (106-45 (Sebelum Masehi [SM]), dalam dua karyanya De Republica (tentang politik) dan De Legibus (tentang hukum) mengatakan, “ubi societas ibi ius”, yang berarti “di mana ada masyarakat di situ harus ada hukum”. Adagium ini sebenarnya merefleksikan bahwa keperluan dan kepentingan manusia sebagai makhluk sosial sesungguhnya hanya dapat terpenuhi dan difasilitasi oleh hukum.

Hukum merupakan salah satu perhatian manusia beradab yang paling utama di muka bumi, karena hukum dapat menawarkan perlindungan terhadap tirani di satu pihak dan terhadap anarki di lain pihak. Pada masa kekaisaran Romawi, telah dimulai pengaturan hukum untuk mengatasi mekanisme kekerasan yang mewarnai pola kehidupan masyarakat pada waktu itu. Karena itu, prinsip-prinsip hukum pidanalah yang pertama di kukuhkan. Prinsip yang paling mendasar dalam hukum pidana direfleksikan dalam asas nulla poena sine praevia lege. Prinsip ini merupakan produk awal pembentukan hukum pada masa itu.

Karena dirasa semakin diperlukan mekanisme untuk penyelesaian konflik melalui hukum, maka pembentukan undang-undang mendorong pemikiran hukum secara lebih jauh. Pada tahun 150 SM terbentuk koleksi pertama dari responsa (cikal bakal replik dan duplik yang kita kenal sekarang) yang dipelopori oleh M.Porcius Cato dan Manius Manilius. Dengan naik tahtanya Kaisar Diocletianus (284-305 SM), terjadilah perkembangan penting di bidang hukum yang ditandai dengan sejumlah usaha kodifikasi yang melahirkan Codex Gregorius dan Codex Hermogianus.
Pada perkembangannya upaya kodifikasi tetap diteruskan. Untuk maksud-maksud tersebut Kaisar Theodorius II (408-450 SM) mendirikan sebuah sekolah hukum di Konstantinopel. Sebagai hasilnya yakni diberlakukannya Codex Theodosianus pada tahun 438 SM. Dalam perkembangan lebih lanjut sekolah itu menghasilkan para ahli hukum ternama seperti Tribonianus, pakar hukum andalan pada zaman Kaisar Yustinianus I.

Kemudian, bersama rekan-rekannya ia ditunjuk sang kaisar membentuk Codex Iustiniani, yang merupakan karya monumental di bidang hukum perdata. Oleh karena ketekunannya yang mendalam tentang hukum itu, kekaisaran Romawi dapat bertahan selama berabad-abad (31 SM-14 M), sampai akhirnya jatuh di bawah kekuasaan bangsa Turki yang merebut ibu kotanya pada tahun 1453 M. Hukum Romawi (Roman Law) ini berkembang di negeri-negeri Eropa dan berubah menjadi Undang-undang Romawi (Roman Code) akibat adanya pengaruh adat-istiadat dan undang-undang yang dibawa oleh para penyerbu berkebangsaan Teutonic (Jerman) dari kekaisaran belahan barat dunia. Penyatuan tersebut menghasilkan sistem hukum Eropa Kontinental. Sistem hukum ini dibawah yuridiksi Gereja sejak dimaklumatkannya Dictatus Papae oleh Paus Gregorius VII pada tahun 1075 M, pada suatu abad tatkala dunia Nasrani ingin merebut Tanah Suci, khususnya Darussalam (Yerusalem), yang nyatanya sia-sia, perang ini lebih dikenal perang salib (1095-1291 M). Akan tetapi antara tahun 1917-1918 M, Darussalam (Yerusalem) direbut dari Turki oleh tiga koalisi (Inggris, Arab dan Yahudi) dan menjadi Ibu kota Republik Israel (Yahudi) pada tahun 1960.

Manifesto Paus ini berisi tak kurang 27 butir yang disusun dan dimaklumatkan sepihak, yang pada pokoknya menyatakan bahwa Paus yang juga Uskup di Roma itulah satu-satunya pemegang kekuasaan hukum yang tertinggi dan universal atas segala urusan (baik yang rohani maupun yang duniawi) di bawah imperium Barat atas orang-orang Nasrani dan atas para padri, dan pula atas para penguasa dunia, baik yang raja maupun yang kaisar. Sebagai pemegang kekuasaan hukum tertinggi yang universal, Paus menyatakan bahwa dirinyalah satu-satunya penguasa yang tak akan terikat pada ucapan dan keputusannya sendiri.

Pernyataan Paus yang menciptakan terwujudnya reformatio totius orbis (reformasi atas seluruh tatanan dunia) ini segera saja mencetuskan konflik antara Paus dan Kaisar Heinrich IV dari Sachsen, yang berlanjut dalam suatu peperangan selama 40 tahun. Perang untuk memperebutkan simbol kekuasaan tertinggi dalam kehidupan manusia antara Kaisar (yang dibantu raja-raja beserta uskup-uskup setempat) dan Paus (yang juga dibantu raja-raja beserta uskup-uskup setia kepadanya). Perdamaian dicapai dengan suatu persetujuan di Worms pada tahun 1122 M, concordatum Worms menghasilkan pengakuan hukum bahwa Paus adalah pemegang kekuasaan tertinggi atas para uskup dan para awam. Concordatum Worms ini menegaskan kenyataan dan suatu pengakuan yang penting tentang bertahannya secara terpisah dua yuridiksi, yaitu yuridiksi Gereja di bawah kekuasaan Paus dan yuridiksi Negara Dunia di bawah kekuasaan Kaisar.

Sistem hukum Eropa Kontinental pada masa itu terdiri dari sistem hukum berdasarkan asas-asas hukum Romawi dikembangkan dan dikelola oleh ahli hukum Kekaisaran, sedangkan Gereja di bawah kekuasaan Paus mengembangkan sistem hukum berdasarkan ajaran Kristus, yang kemudian terkenal sebagai hukum kanonik. Norma-norma hukum dirumuskan dan diundangkan, sistem peradilan dibina, lembaga-lembaga dibentuk dan ditata berdasarkan aturan-aturan hukum, Gereja bukan lagi terkonsepkan sebagai suatu kesatuan spiritual tapi sudah mewujudkan diri sebagai suatu korporasi yang berstruktur birokrasi, hierarkis dan berparadigma politik.

Otoritas Gereja tercatat mundur secara pasti pada abad ke-14 M karena ketergantungannya yang kian besar pada penguasa-penguasa yuridiksi Negara Dunia yang harus menyediakan bantuan bala tentara dan dana-dana dengan memperoleh imbalan berbagai konsesi sepanjang berlangsungnya perang salib dua abad lamanya. Mundurnya otoritas Gereja dalam percaturan politik kian bertambah tatkala Martin Luther (1483-1546 M), seorang teolog Jerman menyerukan pentingnya segera melakukan rekonstitusi dalam kehidupan dan ajaran Kristiani. Reformasi Lutheran yang menyebabkan terjadinya perpisahan Gereja antara yang Protestan dan yang Katolik ini mengajarkan keharusan untuk segera melakukan proses depolitisasi Gereja,agar Gereja lebih berkonsentrasi pada urusan-urusan yang sepenuhnya eklesiastikal, dan dengan demikian juga menyegerakan terealisasinya proses sekularisasi negara-negara nasional berikut hukum-hukumnya.Pluralitas sistem hukum Eropa Kontinental menjadi kian marak pada abad-abad berikutnya tatkala kesadaran kebangsaan telah kian menyurutkan wibawa Gereja dan para pangeran serta penguasa-penguasa lokal, gantinya menumbuhkembangkan satuan-satuan nasional dengan penguasa-penguasa yang sentral.

2. SISTEM HUKUM ANGLO-SAXON

Evolusi Kerajaan Inggris memberikan suatu ilustrasi sempurna tentang perkembangan suatu negara kesatuan yang proses pengintegrasiannya melalui penggabungan dan bukan melalui federasi. Proses penggabungan diawali sesudah serbuan para penyerbu berkebangsaan Jerman (Romawi-Celtic). Menjelang tahun 613 M, berdiri tujuh kerajaan (Heptarchy) lalu bergabung menjadi tiga kerajaan. Kemudian bangsa Denmark menginvasi tapi tidak berhasil, kemudian menggabungkan diri menjadi persatuan kerajaan dibawah raja-raja dari keturunan Kerajaan Wessex.

Sejarah perkembangan sistem hukum anglo-saxon merupakan riwayat serangkaian adaptasi yang berlangsung terus-menerus terhadap kebutuhan yang mengalami perubahan, dan dilaksanakan dengan dua kesepakatan yaitu adat istiadat (custom) dan hukum (law). Kedua unsur ini sangat berbeda meskipun sering digunakan bersama-sama di bawah kepemimpinan hukum konstitusional. Unsur pertama, yaitu adat istiadat jelas bukanlah hukum, berisi pelaksanaan keputusan dan praktek yang meskipun ditetapkan secara tegas dalam kehidupan konstitusioanal bangsa, namun jika diuji tidak akan diakui dalam praktek pengadilan hukum. Unsur kedua, yaitu hukum, berupa sekumpulan hukum yang sebenarnya, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang berlaku di pengadilan. Kumpulan undang-undang ini disusun dari tiga unsur yaitu (1) hukum tidak tertulis atau hukum adat (common law); (2) undang-undang (statute); (3) perjanjian (treaties).

Pemilahan yuridiksi akibat dimaklumatkannya Dictatus Papae berikut segala tegangan tarik menarik yang memutakhirkan ragam bentuknya yang dualitas seperti itu kian nyata dan jelas hampir seabad kemudian tatkala Raja John dari Inggris memaklumatkan Magna Charta pada tahun 1245 M untuk mengakhiri perselisihannya dengan Paus Innocentius III. Dalam Magna Charta itu raja mendeklarasikan pengakuan bahwa “ecclesia anglicana libera sit” (Gereja Inggris diakui bebas), yang harus diartikan bahwa Gereja bebas dari kontrol yuridiksi raja/ratu dan para baron.

Raja/ratu tetap memperhatikan yuridiksinya dalam soal prosedur pemeriksaan dan pengadilan terhadap siapa pun sampai selesai, sebelum kemudian menetapkan apakah seseorang yang diadili itu terbukti terbilang “orang Gereja” atau bukan. Tatkala proses peradilannya selesai dan kejahatannya di bawah yuridiksi pengadilan raja/ratu telah terbukti, terpidana boleh mengklain dan membuktikan statusnya sebagai seorang padri dan karena itu bisa memohon agar perkaranya diteruskan di bawah yuridiksi Gereja. Sementara itu, dalam kasus-kasus sekular non kepadrian dan merupakan kejahatan serius seperti misalnya : pembunuhan berencana, penyiksaan, perampasan, yuridiksi kerajaan tetap berlaku bagi siapa pun, tak soal apakah sang tertuduh itu orang biasa atau orang dalam ordo kepadrian.

Magna Charta dari tahun 1245 M ini menegaskan adanya dualitas yuridiksi, yang juga bermakna sebagai penegasan tiadanya pengakuan adanya kekuasaan hukum yang tunggal. Pemilahan yang tak dapat ditiadakan dan kemudian menghasilkan tokoh hukum yuridiksi kerajaan bernama Henry Bracton (1200-1268 M), seorang hakim di Kerajaan Inggris (England) yang meletakkan dasar sistem preseden (case law) dalam tradisi common law menurut pendekatan ilmiah. Bracton membuat catatan penting dalam bahasa Latin pada sekitar 2000 kasus yang ditangani pengadilan berdasarkan logika ilmiah hukum dan catatan-catatannya terhadap kasus yang telah diputus tersebut menjadi acuan dan pertimbangan hukum bagi kasus yang dihadapi. Apa yang dituliskannya dalam Laws and Custom of England memberikan inspirasi bagi para hakim sesudahnya dan bagi penciptaan hukum modern, misalnya bagaimana mengambil sikap berdasarkan logika keilmuan dalam memutus perkara.

Pada abad berikutnya, berbagai macam undang-undang yang disahkan selama masa Revolusi Tahun 1688-1689 M menetapkan kedaulatan negara Inggris berada di tangan Parlemen, karena the Bill of Rights dan the Mutiny Act (Undang-Undang Pemberontakan) memberi Parlemen kekuasaan atas angkatan bersenjata, dan dengan cara sederhana berupakan pasokan dana tahunan untuk biaya pemeliharaannya, bisa memberikan sebuah perlindungan efektif terhadap tirani.

Sementara itu, sejarah hukum negara telah menetapkan asas dasar yang dikenal sebagai “Rule of Law”, yang artinya persamaan kedudukan semua warga Negara dari tingkatan apa pun di hadapan hukum. Undang-undang seperti Habeas Corpus (1679) dan the Act of Settlement (1701) telah menjamin kekebalan warga negara dari kesalahan hukuman penjara dan menjamin pula kekebalan seorang hakim dari campur tangan raja/ratu. Keputusan peradilan seperti yang berhubungan dengan John Wilkes (1763) secara serentak telah memberikan perlindungan kepada warga negara dari kesalahan penahanan dan tuduhan, bahkan kepada menteri-menteri raja/ratu, dalam proses hukum biasa. Rule of Law ini ditransfer ke koloni-koloni Inggris dan karenanya menjadi dasar sistem hukum masa kini di dominion-dominion Inggris yang berpemerintahan sendiri dan Amerika Serikat.

B. KESIMPULAN

Secara umum antara Sistem Hukum Eropah Kontinental dengan Sistem Hukum Anglo Saxon dibedakan berdasarkan :

(1) Sistem hukum Eropa Kontinental terdiri dari dua unsur; unsur pertama, yaitu sistem hukum   berdasarkan asas-asas hukum Romawi yang dikembangkan dan dikelola oleh ahli hukum Kekaisaran. Unsur kedua; yaitu sistem hukum berdasarkan ajaran Kristus yang kemudian terkenal sebagai hukum kanonik.

(2) Sistem Hukum Anglo Saxon terdiri dari dua unsur; unsur pertama, yaitu adat istiadat jelas bukanlah hukum, berisi pelaksanaan keputusan dan praktek yang meskipun ditetapkan secara tegas dalam kehidupan konstitusioanal bangsa, namun jika diuji tidak akan diakui dalam praktek pengadilan hukum. Unsur kedua, yaitu hukum, berupa sekumpulan hukum yang sebenarnya, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang berlaku di pengadilan. Kumpulan undang-undang ini disusun dari tiga unsur yaitu (1) hukum tidak tertulis atau hukum adat (common law); (2) undang-undang (statute); (3) perjanjian (treaties).

C. SARAN

Jika Legislatif dan Eksekutif belum bisa mengundangkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), maka sebaiknya pembentukan hukum pidana materil lewat Yudikatif melalui hukum kasus (case law) atau hukum yang dibuat oleh hakim (judge-made law) yang dibangun dengan kekuatan preseden, artinya keputusan hakim terdahulu dianggap sama mengikat dengan keputusan hakim sesudahnya untuk kasus-kasus yang sama, meskipun variasi keputusan itu berkembang dengan seiring waktu dan keputusan terdahulu itu hanya sebagai pedoman.